Saat Aku Menangis Setelah Putaran Pertama

Aku masih mengingat saat pertama kali ku memutar.

Jam 2:17 dinihari, cahaya lavender dari jendela kamar ku menyentuh rekaman vinil. Tanpa kerumunan. Hanya aku, buku catatanku, dan cahaya lembut dari Rod Raja yang berputar perlahan—diam, seolah membaca jiwiku.

Kuduga aku mengejar jackpot.

Tapi mesin tak peduli jika aku menangis.

Ia terus berputar.

Saat itulah kusadari: mesin bukan gangguan.

Ia adalah cermin.

Setiap putaran memantulkan apa yang kubawa—harapan diam akan milik.

Ibuku mengajarku bahwa ritual tak dimenangkan dengan koin—tapi dijahit dengan kesabaran. Ayahku bermain jazz dalam nada minor; ia berkata, ‘Ritmanya tidak berteriak. Ia bernafas.’ Jadi ku berhenti bertaruh besar. Mulai dengan putaran GBP 0,1—hanya untuk merasakan tempo.

Di Istana Raja, kemenangan tak ditentukan oleh algoritma.

Ia dipilih dalam jeda.

Kini ku bermain selama tiga puluh menit setelah teh—bukan untuk untung, tapi untuk bagaimana diam bersenandung ketika gulungan berputar di bawah cahaya bintang.

Putaran gratis? Itu bukan keberuntungan. Itu adalah undangan.